Oleh : Asyari Usman*
Alarm di rumah Golkar sedang menyala keras. Ada yang mau masuk paksa. Tujuannya untuk menyingkirkan Ketua Umum Airlangga Hartarto.
Ada apa dengan Airlangga? Sebenarnya tidak ada apa-apa. Cuma, bisa jadi sudah tercium manuver beliau untuk mendukung Anies Baswedan.
Tiba-tiba saja, di acara “Rosi” di KompasTV (Jumat, 21 Juli 2023), Menko Marinvest Luhut Panjaitan mengatakan dia siap menjadi ketua umum Golkar melalui Munaslub. Syaratnya satu: tidak berkelahi dengan Airlangga.
Tentu saja syarat ini tidak mungkin terpenuhi. Dalam arti, mana mungkin memaksa Airlangga mengundurkan diri. Beliau tidak akan lakukan itu. Karena itu, penyingkiran Airlangga akan menyulut perang saudara di Golkar.
Tapi, para penguasa licik menggunakan cara lain yang sangat bejat. Airlangga akan dikriminalisasikan. Dijadikan tersangka. Kemungkinan dugaan korupsi CPO. Kejaksaan Agung sudah memanggilnya untuk diperiksa. Kalau akhirnya menjadi tersangka, maka secara prosedural Airlangga dipaksa meletakkan jabatan. Inilah pintu Munaslub Golkar.
Airlangga menegaskan, tidak akan ada Munaslub. Dia berkata, bagi yang berminat menjadi ketum silakan tunggu Munas 2024.
Tapi, harap diingat, para penguasa yang tak sudi Anies punya banyak cara. Bisa keras, bisa tidak. Yang penting, Airlangga tersingkir.
Orang yang berposisi seperti Luhut Panjaitan hampir pasti bisa membuat Munaslub terlaksana. Airlangga bisa tak berkutik.
Namun, kalau pun Munaslub terlaksana tak berarti Luhut bisa dengan mudah mengambil alih kursi ketua umum. Para kader Golkar bukan orang-orang yang bisa digiring-giring dengan mudah. Yang berpihak ke Luhut pasti ada. Tetapi, lebih banyak lagi politisi yang menyadari dan memahami bahwa Indonesia perlu dipimpin oleh Anies.
Airlangga, konon, termasuk elit Golkar yang berkeyakinan bahwa Anies mampu membawa Indonesia menjadi maju dan bebas dari cara-cara kotor pengurasan kekayaan rakyat. Boleh jadi, tekad beliau untuk mendukung Anies-lah yang membuat Luhut memproklamasikan dirinya siap menjadi ketua umum.
Yang dijadikan alasan untuk memunaslubkan Airlangga adalah ketidakjelasan sikapnya dalam isu pilpres. Dia tidak menunjukkan pertanda akan maju sebagai capres atau cawapres. Padahal, Munas 2019 mewajibkan itu.
Airlangga memang terlihat tidak antusias. Ini terlihat dari taktik tunggu dan lihat (wait and see). Taktik ini berkemungkinan besar tersambung dengan prahara pembegalan Partai Demokrat (PD) yang masih belum berakhir. Masih ditunggu putusan Mahkamah Agung (MA) terkait PK Moeldoko.
Jika Peninjauan Kembali (PK) Moeldoko dikabulkan MA, maka Demokrat otomatis tak bisa mencapreskan Anies. Implikasinya, Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) tak memenuhi syarat minimum 20% (PT-20%) untuk mengusung capres.
Partai Demorat yakin PK Moeldoko akan ditolak. Tetapi, Airlangga memilih sikap stand-by menjaga kemungkinan PK dikabulkan. Kuat dugaan, Airlangga sudah membulatkan tekad untuk menyiapkan Golkar menutupi bolong di koalisi Anies andaikata Demokrat lumpuh.
Golkar tidak bisa lagi mendukung Anies jika Airlangga membentuk poros baru pencapresan. Itu sebabnya orang Golkar pro-Luhut terus mendesak agar Airlangga ikut pilpres baik sebagai capres maupun cawapres. Dengan begitu, Airlangga tidak punya celah untuk membawa Golkar ke kubu Anies.
Kalau Luhut menjadi ketua umum lewat Munaslub, maka Golkar pasti bisa dijauhkan dari Anies. Tidak pun secara kasar mendukung Ganjar atau Prabowo, Luhut bisa saja meramaikan pencapresan dengan poros baru yang tujuannya Asal Bukan Anies (ABA).
Bahkan, Luhut sangat mungkin tidak perduli apa-apa lagi. Dia paksakan saja Golkar mendukung Prabowo. Sangat bisa.
*Jurnalis Senior Freedom News