Dompu [EDITOR I News] – Berpetualang di alam terbuka merupakan hal paling menyenangkan. Apalagi bagi mereka yang memiliki sedikit adrenalin, mencoba hal yang baru dan menantang akan menjadi catatan khusus di buku diary nya.
Minggu yang lalu, hal paling berkesan bagi Bitha (Anisa Shabitha Diwantika) dan Nashira. Keduanya mencuri waktu disela sela kesibukan perkuliahan hanya untuk mendaki Gunung Tambora. Bitha merupakan alumnus strata satu jurusan fisioterapy, Universitas Hasanuddin – Makassar. Dan saat ini melanjutkan study spesialis fisioterapy. Sedangkan Nashira adalah mahasiswa semester akhir fakultas ekonomi Unram. Bitha dan Nashira, duo sahabat SMA yang sama-sama memiliki hobi mendaki gunung.
Untuk sampai ke Tambora, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, Bitha harus menempuh jarak sejauh 378 kilometer, sedangkan jarak yang ditempuh Nashira sepanjang 189 kilometer. Jarak, waktu, dan biaya, bukan soal bagi kedua dara itu, yang penting bisa menaklukkan si pasak bumi yang pernah menggemparkan dunia di tahun 1815 masehi itu.
Siapapun yang berkunjung ke Tambora, apalagi yang mengambil jalur pendakian Doroncanga atau Pancasila, pasti akan disuguhi keindahan alam yang memesona. Memasuki gerbang Kecamatan Pekat, keindahan mata air – pantai Hod’o dan kumpulan kerbau dalam kubangan sesuatu yang keliru untuk dilewatkan. Duduk singgah sebentar lalu menikmati angin laut dapat menghilangkan kepenatan akibat perjalanan jauh. Apalagi disitu ada mata air segar dan bersih, sekedar mencuci muka sungguh bisa menjernihkan pikiran.
Disepanjang perjalanan kemudian, Bitha dan Nashira menikmati kekayaan alam Tambora yang melimpah ruah. Di sebelah selatan ada tumpukan tanah alami yakni Doro B’ente (benteng kerajaan Pekat), kemudian keindahan Teluk Saleh. Disisi kiri dan kanan jalan, terhampar luas padang savana nan unik karena dihuni puluhan ribu ekor hewan ternak sapi, kerbau, dan kuda.
Sebelum mendaki, Bitha dan Nashira harus beristrahat dulu di penginapan. Disana mereka wajib mempersiapkan bekal perlengkapan pendakian, termasuk fisik dan psikis. Setelah semuanya kelar, keduanya siap berangkat. Kali ini mereka mengambil jalur Pancasila untuk bisa naik ke puncak.
Jalur pendakian Pancasila hanya bisa diakses dengan tracking atau berjalan kaki. Lewat jalur ini pendaki harus berjibaku dengan hawa yang dingin dan pacet. Kalau tidak kuat, lebih baik mundur, mengingat jalur ini menjadi jalur utama yang sering digunakan para pendaki karena memiliki medan yang cukup sulit.
Selain itu, jalur Pancasila merupakan satu-satunya jalur yang memiliki top puncak yang tak bisa ditemui dengan jalur-jalur lainnya. Itulah sebabnya, jalur Pancasila menjadi jalur yang paling banyak diminati, termasuk Bitha dan Nashira.
Kendati demikian, Bitha dan Nashira bisa bercerita dan bercinta dengan keindahan alam nan eksotik, karena disitu akan dijumpai “Garuda dari Timur” Nisaetus floris atau Elang Flores, menjangan, pohon pohon raksasa, akar yang menjuntai, dan aneka ragam hayati lainnya.
Ketinggian Tambora yang tersisa akibat letusan dahsyat 208 tahun silam yaitu 2.850 mdpl tidak menyurutkan nyali keduanya. Untuk bisa sampai ke puncak gunung berapi kerucut itu harus menghabiskan waktu seharian dengan melewati 5 pos peristrahatan. Bitha dan Nashira berhasil menancapkan bendera adventurenya. Di atas puncak, Tuhan langsung menganugerahkannya setangkai bunga Edelweis (Anaphalis javanica), disebut bunga abadi.
Walaupun sebentar di atas puncak busur vulkanik Sunda akibat cuaca buruk angin dan kabut, namun Bitha dan Nashira telah menorehkan namanya di atas pasir stratovolkano aktif itu, mereka tidak ingin mengambil resiko.
Dan, petualangan dua srikandi itu sedikit terusik karena mereka tidak sempat menapaki bibir manis kaldera, bentuknya seperti kuali yang menghampar, melingkar 8 kilometer, akibat cuaca buruk. Namun, perjalanan kali ini membuat keduanya harus di bukukan dalam sebuah biografi khusus.