Oleh : Asyari Usman*
UU Kesehatan, UU Ketenagakerjaan, UU Minerba, UU Investasi, UU IKN, dan berpuluh UU lainnya dirasakan tidak berpihak kepada rakyat. Semua disusun untuk kepentingan pemodal.
Perawatan kesehatan akan dijadikan lahan industri. Para pemodal berpesta ria. Jaringan rumah sakit (RS) yang dibangun dengan modal puluhan triliun akan semakin dipermudah untuk menambang duit.
Tambang duit jaringan RS itu memang ditujukan kepada orang-orang kaya. Bagaimana dengan rakyat miskin? Perawatan kesehatan mereka tetap dijalur BPJS. Artinya, teruslah menikmati RS yang didanai negara seadanya. Sering kekurangan tempat tidur.
Bagaimana dengan tenaga kerja alias buruh? Kaum buruh tampaknya akan tetap dijadikan, maaf, jongos pemodal. Itu pun belum tentu Anda bisa mendapatkan pekerjaan. Bisa jadi para pemodal asing akan membawa buruh mereka sendiri seperti yang telah dilakukan oleh perusahaan tambang China yang beroperasi di berbagai daerah Indonesia.
Intinya, Omnibus Law Ketenagakerjaan memuat pasal-pasal yang lebih memudahkan perusahaan besar. Mudah memecat, mudah menerapkan aturan kerja sendiri, mudah menguras tenaga buruh, dan lain sebagainya. Serba mudah serba enak bagi perusahaan besar.
Inilah yang menjadi tema besar demonstrasi buruh yang berlagsung di Jakarta hari ini, 10 Agustus 2023. Para pemimpin serikat yang tergabung dalam Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB) mengatakan jumlah satu juta buruh berunjuk rasa akan bisa tercapai.
Sebelum aksi unjuk rasa hari ini pun, Omnibus Law Ketenagakerjaan, perlakuan terhadap kaum buruh dinilai sangat tidak adil. Ini diperparah oleh sikap pemerintah yang cenderung memihak kepada para pemodal. Kaum buruh meminta agar pemerintah melindungi buruh, bukan melindungi perusahaan yang asas utamanya adalah keuntungan sebesar mungkin.
Sekarang ini kaum buruh merasakan perlakuan terhadap mereka semakin eksploitatif. Misalnya, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang sangat merugikan pekerja. Perusahaan bisa saja memberlakukan PKWT tanpa batas waktu. Sehingga, tidak ada lagi peluang buruh untuk menjadi tenaga kerja tetap. Akibat, pada akhir PKWT bisa saja seorang pekerja tidak mendapatkan apa-apa sampai mamasuki usia pensiun.
Yang juga semakin merisaukan buruh adalah aturan yang abu-abu tentang pekerjaan yang bisa dialihdayakan (outsourcing). Tidak ada batasan yang jelas. Ini akan sangat merugikan buruh dan sangat menguntungkan perusahaan. Alihdaya (outsourcing) memang menjadi perdebatan sengit. Sebab, suasana pasar kerja (labour market) akhir-akhir ini semakin tidak pasti. Pengusaha menengah kecil, bahkan yang besar juga, merasa beban perusahaan perlu diringankan melalui alihdaya.
Tapi, kaum buruh berkeras bahwa itu semua hanya dalih pengusaha yang hanya ingin enak sendiri. Pengusaha, kata mereka, hanya mau menang sendiri. Memang harus diakhui bahwa masih banyak perusahaan yang tidak menerapkan alihdaya tetapi tetap sehat.
Yang juga dikeluhkan adalah waktu cuti. Pada zaman sekarang, para pekerja semakin tertindas oleh target-target gila perusahaan. Produktivitas adalah satu-satunya ideologi pengusaha. Sikap atau cara pandang seperti ini harus dicampuri oleh pemerintah.
Harus diakui, pemerintah Presiden Jokowi lebih memanjakan pemodal. Investasi dan lapangan kerja memang penting. Namun, pemerintah semestinya juga menempatkan kaum buruh sebagai elemen bangsa yang akan menentukan masa depan negara ini.
Pemerintah harus memihak buruh dalam perspektif penegakan keadilan bagi semua pihak. Saat ini, yang dirasakan adalah ketidakadilan dalam menyusun dan menjalankan UU. Pemerinth Jokowi memamg sewenang-wenang.
*Jurnalis Senior Freedom News