Misi rezim Jokowi tentang penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya bisa dinilai hanya janji manis politik. Padahal institusi peradilan merupakan jantung hukum di Indonesia tetapi masih dipandang sebelah mata. Karrna faktanya, dalam postur APBN anggaran untuk lembaga peradilan jauh lebih kecil dibanding lembaga yang lainnya.
Di tahun 2024 saja, pemerintah hanya memberi anggaran 11 triliun rupiah kepada Mahkamah Agung. Angka tersebut turun 1 triliun dari tahun 2023, sedangkan lembaga lain mengalami kenaikan.
Keputusan pemerintah yang mempreteli anggaran MA mendapat reaksi keras dari keluarga besar MA. Seorang hakim muda di Pengadilan Negeri Nunukan, Kalimantan Utara, Andreas Samuel Sihite memprotes keputusan di atas.
Menurutnya, reformasi anggaran MA memiliki pengaruh besar bagi kalangan Yudikatif yaitu berdampak pada kinerja dan perekrutan hakim.
‘’Sangat berdampak bagi 931 pengadilan yang tersebar di wilayah Indonesia, dengan jumlah hakim dan pegawai lebih dari 30 ribu orang,’’ ucapnya, Jum’at (19/1) dikutip dari laman kabarnunukan.com.
Ketidakadilan pemerintah mengoyak batinnya, dia pun berani memberikan saran terbuka kepada Presiden terkait perubahan anggaran di tubuh MA.
Membangun hukum tidak bisa hanya dengan rangkaian kata manis sebutan “Yang Mulia” saja dari masyarakat dan para pejabat negara ini. Melainkan harus didukung porsi anggaran yang naik signifikan secara bertahap, konsisten dan berkesinambungan, serta menaikkan kualitas dan kuantitas dari sarana, prasarana, serta SDM Mahkamah Agung setiap tahun.
Bukankah dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 mengamanahi “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Artinya hukum merupakan sesuatu yang spesial bagi negara ini.
“Anggaran di bidang pengadilan itu sangat erat dengan suatu kemajuan bangsa. Tidak adanya reformasi anggaran MA akan membuat hukum Indonesia bisa tertinggal dari negara-negara lain. Karena bagaimana pun, anggaran yang besar akan membuat rencana besar bagi MA, dengan sistem hukum Indonesia yang lebih baik lagi,’’ hemat dia.
‘’Hal ini sangat tega dan disayangkan, sehubungan Mahkamah Agung merupakan lembaga negara yang sangat besar dan merupakan jantung dari hukum Indonesia itu sendiri,’’ sesalnya.
Dia juga mengungkap fakta mencengangkan, saat ini MA masih sangat kekurangan hakim dan pegawai, serta fasilitas pendukung. Kekurangan tersebut dapat dipenuhi bila negara mampu memberikan realisasi anggaran yang cukup.
APBN harus prioritaskan MA
Hakim muda tersebut berpendapat, sangat layak jika MA masuk dalam sepuluh besar prioritas penerima anggaran jumbo dari APBN. Karena untuk menjadi negara maju, faktor ekonomi dan hukum sangat berkaitan dan berhubungan erat.
Kalau tidak, sunting anggaran Yudisial akan membuat Indonesia tidak memiliki peluang dalam mencapai cita-cita Indonesia emas dan Mahkamah Agung emas pada tahun 2045. Walaupun target Indonesia Emas tahun 2045 masih lama, namun seluruh hakim muda saat ini sambung Andreas akan memimpin seluruh pengadilan di Indonesia pada tahun 2045.
Dia mengingatkan pemotongan anggaran dikhawatirkan juga akan menurunkan kewibawaan para hakim dan mengakibatkan mahkamah agung ‘stunting’ dalam memberikan pelayanan dan operasional sistem hukum yang maksimal bagi masyarakat. Sehingga dia menyarankan rencana anggaran tahun 2025 harus segera diwujudkan dengan persiapan melalui kebijakan reformasi anggaran Mahkamah Agung.
Apalagi sejauh ini belum ada rencana negara untuk menaikkan anggaran secara berkala yang bertujuan untuk penguatan hukum. Sehingga muncul anggapan lembaga MA tidak masuk skala prioritas.
Andreas berdo’a agar Tuhan menolong Mahkamah Agung dalam anggaran APBN 2025, dan anggaran yudikatif berikutnya dapat naik secara signifikan dan berkesinambungan.
‘’Dan siapapun presidennya, anggaran Mahkamah Agung haruslah mendapat prioritas anggaran. Karena Mahkamah Agung adalah lembaga negara yang menjadi jantung hukum Indonesia. Apalagi MA sudah 11 kali berturut-turut meraih predikat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK,” pungkasnya.