Oleh : Asyari Usman*
Gibran marah dan dia tunjukkan itu di debat cawapres 21 Januari. Gibran tiga kali sebut nama Tom Lembong –mantan menteri perdagangan dan sebelumnya pernah menjabat kepala BPKM. Kedua jabatan itu di era Presiden Jokowi.
Yang paling seru dan membelalakkan mata adalah kemarahan Luhut Pandjaitan kepada Pak Tom. Dalam komentar bombastis di kanal Luhut Binsar Pandjaitan beberapa hari yang lalu, Luhut marah dengan ekspresi wajah yang seolah ingin menerkam mantan menteri lulusan Universitas Harvard itu.
Antara lain Luhut merendahkan kinerja Tom Lembong selama tujuh tahun menjadi menteri Jokowi. Tom tak becus, menurut Luhut. Termasuk mengurusi OSS (online single submission alias permohonan online satu formulir). Dengan gaya militeristiknya, Luhut mempertanyakan inetelektualitas Tom. Luhut mengatakan, “Anda memang punya intelektualitas tinggi tapi tidak ada karakter.”
Luhut menuduh Tom melakukan pembohongan publik. Dan memberikan masukan yang tidak benar kepada Gus Imin. Sewaktu debat cawapres kedua, Gus Imin menyebutkan pemerintah melakukan hilirisasi nikel secara ugal-ugalan yang menyebabkan harga anjlok.
Sekarang kita lihat mengapa Luhut dan Gibran marah sekali kepada Tom Lembong? Apa sebabnya? Apakah karena sindiran Pak Tom bahwa dia tujuh tahun memberikan contekan atau masukan kepada Presiden Jokowi?
Tampaknya bukan itu penyebab utamanya. Ada hal lain. Kelihatannya Tom Lembong banyak tahu borok-borok para penguasa. Sebagai menteri di posisi penting, yakni perdagangan dan investasi, Tom pasti mencatat banyak penyimpangan atau praktik korupsi. Misalnya, boleh jadi Tom didikte agar menyetujui impor komoditas penting seperti beras, gula, terigu, daging, dan lain sebagainya yang penuh permainan.
Sangat mungkin impor-impor itu dijadikan peluang monopoli, mark-up harga, komisi, dan bentuk-bentuk kentungan ilegal lainnya. Kelihatannya Pak Tom tahu para pemburu rente dari kebijakan impor semasa dia menjadi menteri perdaangan. Beliau menjadi frustrasi karena tidak terbiasa dengan cara-cara korup.
Impor adalah salah satu sumber duit korupsi yang sangat deras dan relatif aman. Sebagai contoh, kalau perusahaan BUMN atau perusahan swasta mendapat mandat untuk mengimpor beras, daging, terigu, dan sebagainya, maka para pejabat yang mendapat izin atau penugasan impor itu bisa memainkan harga pembelian dan harga penjualan kepada distributor.
Dari sejumlah orang yang pernah bekerja di sebuah BUMN yang melakukan impor, saya mendapat informasi bahwa uang mark-up, komisi, dan sejenisnya itu bisa berjumlah ratusan miliar, bahkan triliunan. Impor daging, sebagai contoh. Keuntungan resmi bisa mencapai Rp15,000 hingga Rp20,000 per kilogram.
Tapi, para pejabat di BUMN pengimpor akan mengambil komisi tak resmi yang bisa sampai Rp10,000 per kilogram. Coba saja dihitung kalau impor daging sapi atau daging kerbau mencapai 150 ribu ton atau 200 ribu ton. Impor 200 ribu ton berarti komisi tak resmi yang diambil oleh para penguasa BUMN impoter dari distributor mencapai 200,000,000 kg dikalikan Rp10,000 sama dengan Rp2 triliun. Atau katakanlah Rp5,000 saja per kilo. Masih dapat Rp1 triliun.
Ini baru dari impor daging sapi atau daging kerbau. Ada sekian banyak komoditas yang “terpaksa” diimpor karena produksi lokal tidak ada atau tidak mencukupi. Termasuklah beras, gula, terigu, jagung, kedelai dan sebagainya.
Sebagai pebisnis yang dididik untuk berlaku jujur, tentu saja Tom Lembong tidak akan nyaman dengan cara-cara korup. Barangkali itulah sebabnya dia mumutuskan pindah ke lingkaran lain yang dianggapnya lebih cocok dengan karakter antikorupsinya.
Kepala BKPM Bahlil Lahadalia juga ikut menyerang. Tapi, Pak Tom cukup menjawab agar Bahlil membuka siapa-siapa saja yang telah berinvestasi di IKN. Rupanya, Bahlil tak berani transparan dengan alasan daftar investor IKN itu sifatnya rahasia. Nah, Anda bisa simpulkan sendiri apa yang sebenarnya terjadi.
Sekarang, Tom Lembong lebih senang dan tenang membersamai Anies Baswedan. Dia bagaikan menemukan kembali habitat hidup tanpa korupsi. Tujuh tahun beliau harus menderita di tengah budaya rampok. Tapi kayaknya Tom Lembong menjadi banyak tahu tentang kejahatan rezim.
*Jurnalis Senior Freedom News