Oleh : Asyari Usman*
Kata “kita” di tulisan ini bukan kata ganti (pronounce) yang mewakili semua orang di Indonesia ini. Saya gunakan “kita” untuk menggambarkan suatu proses yang diikuti semua orang (kita) tetapi output proses itu merupakan kehendak kelompok yang merasa mendominasi panggung politik.
Artinya, kalau Anda tidak merasa sebagai bagian dari “kita” itu, maka perasaan Anda itu sudah benar. Karena itu, izinkan saya melanjutkan pendapat saya berikut ini.
Pelaksanaan pilpres 2024 ini jelas curang. Hasilnya pun otomatis curang. Ini semua terjadi karena kita selama ini dikendalikan oleh orang-orang yang bermentalitas dan berjiwa curang.
Salah satu orang yang bermentalitas curang itu menduduki jabatan eksekutif tertinggi di negara ini. Dia sebetulnya sudah berulang kali melakukan kecurangan itu. Tetapi tetap saja kita diamkan.
Semua kecurangan yang dilakukannya, kita biarkan saja. Dia curang dalam menjalankan kekuasaan yang tempohari diberikan kepadanya dengan cara yang curang juga. Curang 2014 dan curang 2019.
Banyak diantara kita yang memuja-muji dia dengan curang. Membersamai dia dengan curang. Membela dia dengan curang. Kita pasang badan untuk membela kesewenangannya dengan curang.
Serba curang dan sama-sama curang. Dia suka curang dan kita selalu siap membeking dengan curang pula.
Kita naikkan dia dengan curang. Dia minta untuk dinaikkan lagi dengan curang. Setelah itu, dia buat kebijakan-kebijakan yang curang. Terus saja kita diamkan dengan curang.
Dia pinjam uang dalam jumlah besar dengan curang. Dia gunakan pinjaman itu dengan curang. Kita poles-poles dengan curang semua manipulasi dia itu. Kita jelaskan dengan curang bahwa dia adalah orang yang cuma ngerti kerja, kerja, kerja, tapi kerja curang.
Di DPR, kita bela dia dengan curang. Di media hebat-hebat, kita sajikan dengan curang kehebatan dia dalam berbuat curang. Di kongres-kongres partai, kita katakan dengan curang kepada rakyat bahwa dia tidak curang ketika dia setiap hari bertindak curang.
Dia paksakan Omnibus Law Cipta Kerja dengan curang. Diiyakan oleh DPR dengan curang. Kemudian kita bela-bela bahwa itu tidak curang.
Dia tangani wabah Covid dengan curang. Banyak pembesar bisa kantongi uang limpahan dengan curang. Kemudian Perdana Menteri bilang tidak ada yang curang. Setelah itu, kita diam dalam curang.
Dengan curang, dia paksakan anaknya ikut pilpres yang dikampanyekan dengan curang. Semua pembantu di Istana siap menjadi mesin politik curang. Para menteri pun bersekutu dalam koalisi curang supaya si anak curang bisa menang curang demi melanjutkan jalan curang.
Dia cari dana bansos dengan curang, untuk tujuan curang, supaya si anak curang bisa menang dengan curang. Dia paksa bendahara negara berbuat curang untuk menyediakan dana dengan curang yang diperlukan untuk operasi curang.
Dia ajak dan perintahkan bos-bos institusi negara untuk memenangkan anaknya dengan curang. Mereka diminta mencari duit sendiri dengan curang dari para peduit yang melakukan praktik bisnis curang.
Sekarang, si Curang yang dulu diperlakukan curang oleh Pak Curang telah mengklaim kemenangan curang dengan didampingi para ketum curang dan Anak Curang.
Tak terhitung lagi berapa banyak kata “curang” yang berserakan di artikel yang tak disukai oleh orang-orang curang. Inilah pertanda bahwa bibit curang yang kita tabur sepuluh tahun lalu itu memang tumbuh subur.
Hari ini kita panen raya Tanaman Curang itu.
*Jurnalis Senior Freedom News