Perkara dugaan tindak pidana korupsi pekerjaan rehabilitasi jaringan irigasi daerah irigasi Kwangko pada Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, tahun anggaran 2022 yang menghabiskan anggaran negara sekitar 3,4 miliar rupiah sudah masuk ke tahap penyidikan.
Saat ini penyidik lagi menunggu hasil audit perhitungan kerugian keuangan negara dari BPKP Provinsi Nusa Tenggara Barat, kata Joni Eko Waluyo, kasi humas Kejari Dompu belum lama ini.
Dan sejauh ini, tim penyidik telah memeriksa 11 (sebelas) orang saksi dan sudah melakukan audit fisik bangunan.
Belajar dari pengalaman pengusutan kasus korupsi selama kepemimpinan Kajari Dompu Marlambson Carel Williams. Jika suatu perkara sudah naik ke tahap penyidikan apalagi sampai pada perhitungan kerugian negara, maka dipastikan akan ada tersangka dan tersangkanya menjadi terpidana.
Sebagaimana diketahui, Kajari Carel merupakan seorang leader yang bersih dari kepentingan selama memegang tongkat komando di Kejaksaan Dana Nggahi Rawi Pahu. Karena hanya dedikasi, integritas, dan profesionalitas dalam pikiran Carel.
Sesuai dokumen yang diperoleh BCBFM, proyek rehabilitasi irigasi Kwangko dilaporkan oleh seorang warga di Kejaksaan Tinggi NTB pada bulan September 2023, bernomor laporan: 01/LP/09/2023 dengan melampirkan dokumen-dokumen penting dan foto pekerjaan pasca banjir.
Laporan dilayangkan akibat robohnya bangunan proyek pada awal tahun 2023 yang disebabkan oleh banjir. “Baru banjir sekali, sudah roboh,” tulis pelapor dalam kronologisnya. Sehingga, saat ini daerah irigasi Kwangko belum bisa dimanfaatkan oleh petani setempat.
Pelapor menduga, pekerjaan menggunakan besi ukuran kecil untuk konstruksi beton pada bagian pondasi. Akibatnya, bangunan mengalami keretakan dan bolong pada baglan pondasi. Dan sebaglan pasangan batu mengalami kerusakan/jebol.
Sebelumnya, proyek ini dilelang oleh bagian pengadaan barang dan jasa Setda Dompu pada tahun 2022 dengan pagu anggaran sebesar Rp3,4 miliar. Paket dimenangkan oleh perusahaan inisial VA, beralamat di Kelurahan Montabaru, Kecamatan Woja.
Selain dilaporkan, informasinya Kejari Dompu melakukan investigasi di lapangan untuk penyelidikan awal mengenai jebolnya proyek ini.
Di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, di pasal 8 menyebutkan pelaku pengadaan barang/jasa terdiri atas Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan, Pokja Pemilihan, Agen Pengadaan, Penyelenggara Swakelola, dan Penyedia. Disini diatur tugas, wewenang dan tanggungjawab serta mekanisme kerja para pelaku pengadaan.
Selain pelaku tersebut di atas, didalam Satuan Kerja Perangkat Daerah atau SKPD terdapat pula Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Mereka adalah pejabat yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program sesuai dengan bidang tugasnya.
Kemudian ada juga tim PHO (Provisional Hand Over), FHO (Final Hand Over), dan Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) atau Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PjPHP) adalah panitia/pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA yang bertugas memeriksa administrasi hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa.
PHO dan FHO hanya terdapat pada pekerjaan jasa konstruksi.
Selain Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2021 diatas, diperjelas dan dipertegas lagi oleh peraturan Lembaga KebijakanΒ Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 2 Tahun 2018 tentang perubahan atas peraturan kepala LKPP Nomor 6 Tahun 2016 tentang katalog elektronik dan E-Purchasing.
Didalam pelaksanaan tugas, kewenangan, dan tanggungjawab, para pelaku pengadaan terikat oleh batasan-batasan secara administratif dan teknis.
Pertanyaannya, bagaimana para pelaku pengadaan dalam proyek irigasi Kwangko melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggungjawabnya, apakah sudah baik dan sesuai aturan yang berlaku atau tidak? Kalau sesuai aturan maka selamat dari cengkraman hukum. Tetapi kalau melanggar berarti akan tersandung. Itu adalah petaka.
Dalam hal perkara tindak pidana korupsi, landasan bagi aparat penegak hukum termasuk institusi Kejaksaan adalah undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, serta aturan hukum lainnya.
Bahwa penyidik didalam menetapkan seseorang atau korporasi sebagai tersangka tergantung perbuatan dan (kebijakannya), serta tanggungjawabnya yang melekat dilakukan dengan melanggar peraturan/perbuatan melawan hukum sehingga akibatnya negara dirugikan. Melabeli seseorang sebagai tersangka harus didukung minimal dua alat bukti.
Kemudian hal lain yang tetap dan harus didalami oleh penyidik yaitu mens rea (niat jahat). Ini penting dibuktikan penyidik meskipun niat itu tidak terlihat.
Sebagai catatan akhir, bila dalam proses penyelidikan atau penyidikan, penyidik tidak cukup memiliki alat bukti, maka perkara harus dihentikan.