Oleh : Asyari Usman*
Prof Denny Indrayana – pakar hukum tata negara dan juga mantan Wamenkumham — menganjurkan agar DPR memproses pemakzulan (impeachment) Presiden Jokowi. Mungkinkah itu terjadi?
Denny pastilah paham, tidak mungkin DPR berani. Di akhir surat yang bertajuk “laporan dugaan pelanggaran impeachment” Presiden Jokowi, Denny mengatakan dia sadar itu tak mungkin dilakukan. Tapi, ujar Denny, saran pemakzulan itu harus disampaikannya, karena dia sebagai warga negara, tak rela UUD 1945 terus dilanggar oleh Presiden Joko Widodo.
Sekali lagi, pemakzulan Jokowi tidaklah mudah. Hampir tak mungkin. DPR itu dihuni oleh partai-partai yang sebagian besar membebek ke Jokowi. Ada berbagai alasan mengapa mereka membebek. Termasuklah kasus-kasus hukum yang melibatkan para petinggi partai. Ini yang dengan mudah bisa dimainkan oleh penguasa untuk menekan pimpinan parpol.
Sebab lain adalah logistik partai. Sistem yang ada ini memerlukan biaya besar. Partai-partai itu memerlukan cukong. Santunan dari para cukong tentu tidak pernah gratis. Ada imbalannya. Para cukong akan melihat isyarat dari Istana ketika mau melaksanakan transaksi dengan parpol-parpol.
Jadi, ada semacam skema hubungan “bandar-pengedar-pemakai”. Kalau disederhanakan lagi, hubungan itu menjadi “cukong-penguasa-parpol”. Pertautan seperti ini membuat praktik politik di negara kita senantiasa berada dalam siklus penyanderaan, intimidasi, dan kooptasi. Dunia politik menjadi carut-marut.
Kekuasaan besar Presiden Jokowi berada di pusaran politik yang carut-marut itu. Dia berada di posisi yang sangat strategis. Dan karena sangat kuat dan strategis, Jokowi memainkan banyak peran sekaligus.
Jokowi itu mirip perusahaan film milik aktor atau aktris. Dia yang menjadi penulis naskah merangkap bintang utama. Dia juga sutradara, produser, dan distributor.
Artinya, Jokowi ada di semua cabang kekuasaan. Jokowi ada di eksekutif yang memang “core business”-nya presiden. Dominasi Jokowi di lingkungan eksekutif sangat kuat. Ini yang menyebabkan dia bisa merambah ke klaster legislatif dan kemudian punya saham mayoritas di klaster yudikatif.
Dominasi di lingkungan eksekutif membuat Jokowi berperan sebagai Kapolri, Jaksa Agung, Ketua KPK, Ketua KPU, Ketua Bawaslu, Ketua Komnas HAM, dan lain sebagainya. Di klaster legislatif, bayangan Jokowi ada di kursi ketua DPR, kursi ketua MPR, kursi ketua DPD, dan bahkan di kursi ketua-ketua komisi DPR.
Ekspansi kekuasaan Jokowi ke klaster yudikatif membuat dia menjadi ketua bayangan di Mahkamah Agung dan juga di Mahkamah Konstitusi. Karena itu, para ketua asli kedua mahkamah ini mengerti betul apa yang harus mereka kerjakan supaya bisa tetap sinkron dengan misi Jokowi.
Dengan kekuasaan yang nyaris “unlimited” (tak terbatas) dan sekaligus “borderless” (tanpa batas) itu, Presiden Jokowi pun bisa ada di mana-mana. Jokowi ada di “board room” (ruang direksi) para taipan. Kehadiran ini membuat Jokowi selalu bisa menjamin “ketahanan moneter”-nya.
Jokowi juga ada di ruang kerja para rektor di seluruh Indonesia baik itu PTN maupun PTS. Kehadiran ini menjamin agar kesehatan nalar mahasiwa tetap bisa stabil pada kondisi koma (unconscious alias tak sadar diri). Nalar yang berada dalam kondisi kritis tentu membuat mahasiswa tidak kritis. Ini sangat diperlukan Jokowi.
Nah, dengan gambaran kekuasaan yang sangat luas dan sangat kuat itu apakah ada yang membayangkan pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden Jokowi bisa berjaya? Kelihatannya tidak. Jangankan berhasil dimakzulkan, untuk memulai hak angket di DPR saja pun hampir pasti tidak mungkin.
Karena itu, kekuasaan level manusiawi tidak akan mampu memakzulkan Jokowi. Kecuali kekuasaan Tuhan Yang Maha Perkasa. Itu pun kalau Jokowi tidak mengajukan gugatan ke MK untuk mendapatkan hak menolak kedatangan Malaikat Maut.
*Jurnalis Senior Freedom News