Oleh : Asyari Usman*
Setelah debat capres ketiga pada 7 Januari 2024, ada upaya untuk menggiring publik agar merasa kasihan melihat Prabowo. Topik “kasihan” itu menjadi viral di kalangan pendukung capres 02 itu.
Seorang wanita menjual tangis sedihnya. Lebih-kurang dia mengatakan, ketika melihat Prabowo tampak dia itu orang tulus. Si wanita buzzer menambahkan dia teringat pada ayahnya sendiri.
Dalam 2-3 hari ini banyak pendukung yang mengutarakan rasa kasihan kepada Prabowo. Khususnya setelah Pak Gemoy tak berhasil mengajak Ganjar Pranowo menjadi teman untuk mengucilkan Anies di debat 7 Januari itu.
Inilah asal-muasal Prabowo menunjukkan raut sedih itu. Semula dia memberikan isyarat kepada Ganjar bahwa dia selalu sependapat dengan capres 03 itu. Ganjar tak menyambut. Dia malah lebih kencang lagi dari Anies.
Prabowo terdesak. Sebetulnya bukan karena dia gagal mengajak Ganjar berteman. Melainkan karena Pak Menhan sendiri kehilangan posisi garangnya akibat bergabung ke kabinet dan sekarang menjadi boneka Jokowi demi Gibran.
Begitu menjadi boneka dan malah sering menjilat Jokowi, akhirnya Prabowo tidak punya kredibilitas lagi. Ditambah sikap oportunistiknya ketika MK membukakan jalan bagi Gibran ikut pilpres sebagai cawapres Prabowo, otomatis harga diri Prabowo semakin hancur.
Dia menjadi mabuk kekuasaan di mata banyak orang. Prabowo dinilai ikut-ikutan seperti Jokowi yang menerabas peraturan dan nilai-nilai etik atau nilai moralitas demi kursi presiden. Publik menilai Prabowo sangat rendah.
Sekarang, para buzzer Prabowo mengeksploitasi wajah sedih dia setelah terpojok akibat pertanyaan-pertanyaan di debat 7 Januari itu. Dari sini, para buzzer mencoba menarik simpati publik untuk Prabowo.
Yang pertama, cara ini mempermalukan Prabowo sendiri. Rasa kasihan tidak seharusnya berperan menaikkan elektabilitas beliau yang kini merosot terus. Indonesia sedang mencari pemimpin yang tangguh, berintegritas, kaya gagasan dan visioner. Bukan mencari pemimpin yang terpilih karena rasa kasihan. Karena memelas di pentas debat.
Pertarungan di masa depan menuntut kecepatan mengambil keputusan yang tepat dan akurat. Perlu pemimpin yang mampu menyusun prioritas berdasarkan kebutuhan rakyat, bukan karena nafsu presiden.
Yang kedua, memilih Prabowo karena rasa kasihan akan merugikan seluruh rakyat. Hari ini para pakar kesehatan fisik dan psikis berpendapat Prabowo diragukan memiliki kemampuan jasmaniah dan ruhaniah yang memadai untuk level pengelolaan negara.
Yang ketiga, jangan sampai gara-gara Prabowo memelas bakal lahir tradisi baru dalam berdemokrasi. Namanya “demokrasi kasihan” —yaitu memilih seseorang setelah tak mampu unggul dalam debat capres.
Ramai-ramai buzzer perempuan menangis di Tiktok, mengaku sedih si capres terpojok. Padahal, dalam pertemuan internal setelah debat, si capres ngamuk-ngamuk sambil mengucapkan kata-kata kasar untuk lawan debatnya.
*Jurnalis Senior Freedom News