Oleh : Asyari Usman*
Beliau sangat rasional dalam segala hal. Melihat dan mengevaluasi sesuatu selalu rasional. Membuat keputusan berdasarkan pertimbangan rasional. Dan, oleh karena itu, memilih pemimpin negara pun seharusnya rasional juga. Begitulah orang mengenal Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan (LBP).
Tetapi, mengapa faktanya untuk urusan pemimpin negara Pak Luhut kelihatannya tidak rasional?
Untuk pilpres 2024 ini Pak Menko sudah tahu Anies Baswedan luar-dalam. Tidak ada yang disembunyikan. Integritas, kapabilitas, kapasitas, moralitas, akseptabilitas, semuanya komplit dimiliki Pak Anies.
Di masa kampanye ini, dan jauh sebelumnya, Anies menyediakan diri untuk diroasting atau dikuliti oleh berbagai acara televisi maupun panggung komedi. Anies juga memenuhi undangan semua diskusi terbuka yang melibatkan kalangan akademisi maupun orang biasa. Ada acara “Uji Publik” di sejumlah kampus dan “Desak Anies” di tempat-tempat umum.
Acara-acara itu tidak hanya dihadiri oleh pendukung Anies. Bahkan yang bukan pendukung capres 01 ini pun ikut mencecar dengan pertanyaan yang sifatnya random dan instan. Tanpa pengaturan. Orangnya tidak diatur, begitu juga pertanyaannya. Semua disampaikan bebas. Tentang apa saja.
Alhamdulillah, Anies bisa menjawab ratusan atau mungkin ribuan pertanyaan acak yang diajukan kepadanya. Kita bisa melihat orang-orang yang hadir merasa puas dengan jawaban atau penjelasan Anies.
Jawaban-jawaban Anies selalu rasional. Bagaimana membuktikannya? Lihat saja kontinuitas “Desak Anies” itu. Ada saja yang ingin menyelenggarakannya. Laris sekali. Demand melebihi suplai.
Masyarakat senang karena mereka bisa membongkar habis pikiran Anies. Warga bisa mengetahui gagasan Capres 01 ini untuk masa depan Indonesia. Bahkan, masyarakat pun bisa mengetahui kepribadian beliau. Semua transparan di depan umum. Dan semuanya rasional.
Satu hal, Pak Luhut. Acara-acara ini dinilai mencerdaskan. Sekaligus mengasah rasionalitas. Dalam arti, Anies tidak hanya menjawab pertanyaan tetapi juga mampu memberikan berbagai perspektif baru kepada mereka yang hadir.
Intinya, Anies menjadi stimulan untuk belajar rasional. Dia piawai namun tidak menggurui lawan-lawan bicaranya agar menggunakan sikap rasional dalam semua urusan. Anies selalu mengajak siapa saja yang dijumpainya agar rasional dalam setiap langkah.
Sekarang kita tanya langsung Pak Menko: mengapa Anda mendukung Prabowo-Gibran? Apakah paslon 02 ini cocok dengan rasionalitas Anda, Pak?
Apakah benar-benar rasional ketika Pak Luhut memberikan dukungan atau menjatuhkan pilihan kepada Prabowo-Gibran?
Rasional bermakna memperbandingkan pilihan-pilihan yang ada berdasarkan “ratio”. Nah, apakah Pak Luhut jujur bahwa memilih paslon 02 itu sudah rasional? Dan masuk akal? Bahwa Prabowo-Gibran itulah yang terbaik?
Sebagai tokoh panutan, Pak Luhut berkewajiban untuk menunjukkan siapa orang yang terbaik untuk dipilih menjadi presiden Indonesia? Siapakah pilihan yang rasional itu?
Beberapa hari yang lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan kepada jajarannya tentang bahaya pemimpin yang gampang emosional. Beliau tidak menyebut nama tetapi suasana kontestasi hari ini membuat kita paham siapa yang dimaksudkan Bu Menteri.
Lebih nyerempet lagi, Bu Sri mengisyaratkan bahwa pilihan Pak Luhut atas Prabowo-Gibran sama sekali tidak rasional. Apa pun “bench-mark” atau patokannya.
Sebaliknya, Bu Menteri secara tersirat menyimpulkan Anies Baswedan adalah pilihan yang rasional. Persoalannya, kalau Pak Luhut memang senantiasa rasional, mengapa tidak mendukung Anies?
*Jurnalis Senior Freedom News